Mengetahui kisah perjuangan Risna Hasanudin bebaskan perempuan Arfak dari buta aksara sungguh membuat saya berdecak kagum. Saat perempuan muda seusianya memilih mengejar mimpi dengan mencari pekerjaan di tempat yang bagus selepas kuliah, Risna justru menempuh jalan yang sunyi nan berliku.
Dari Banda Naira ia terbang menuju ke pelosok Papua Barat, tepatnya ke Kampung Kobrey, Kabupaten Manokwari Selatan. Di kampung tersebut banyak tinggal suku Arfak asli yang dulunya menetap di atas gunung namun sebagian telah turun dan dibuatkan rumah oleh pemerintah setempat.
Kampung Kobrey menjadi tujuan Risna karena kondisi masyarakat di sana khususnya perempuan suku Arfak banyak yang tertinggal dalam pendidikan. Kebanyakan dari mereka buta aksara.
Penyebabnya adalah faktor adat suku Arfak yang menganggap perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Alhasil, para perempuan di sana putus sekolah. Paling tinggi mereka hanya bersekolah sampai di bangku kelas 3 SD.
Mirisnya, mereka putus sekolah dengan kondisi belum bisa baca tulis. Sangat memprihatinkan, bukan? Saat kita bisa mengakses pendidikan dengan mudah, perempuan-perempuan Arfak bahkan untuk sekadar belajar membaca dan menulis pun kesulitan karena tak ada yang mengajari.
Belum lagi dilihat dari sisi kesehatan Suku Arfak. Banyak perempuan di Kobrey meninggal akibat kanker. Berbanding lurus dengan literasi mereka yang sangat rendah. Pendapatan masyarakat suku Arfak juga sangat terbatas, sebagian besar mereka hidup dalam kondisi miskin.
Hal inilah yang menggerakkan hati Risna untuk mengabdi di Kampung Kobrey. Perempuan asal Banda Naira, Maluku Tengah ini memilih tinggal di Papua untuk mencerdaskan para perempuan dari Suku Arfak.
Menurutnya, pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk membawa perubahan yang lebih baik. Ia kemudian mendirikan rumah belajar yang dinamai Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak (RCKPA).
Berawal dari ketertarikan terhadap Papua
Saya penasaran ingin melihat Papua, ingin membuktikan sendiri kondisi Papua yang sebenarnya bukan hanya sekedar membaca atau melihat di media.
Sejak duduk di bangku kuliah, Risna mengaku sudah tertarik dengan isu-isu Papua. Ia penasaran ingin melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kondisi di Papua.
Rasa penasaran itu akhirnya terjawab, pada 2006, Risna berkesempatan menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Papua Barat, lalu pada 2012 ia terjun sebagai relawan di wilayah binaan Sorong dan Fakfak.
Masa KKN lalu menjadi relawan, dua pengalaman berharga itu sudah cukup memantapkan niatnya untuk mengabdi.
Dia sudah melihat sendiri bagaimana kondisi di Papua, cukup memprihatinkan, masih banyak orang Papua khususnya anak-anak dan perempuan yang tinggal di pelosok tertinggal pendidikannya.
Walau bukan berasal dari Papua, tapi hati Risna seolah sudah terpaut dan jiwanya merasa terpanggil. Ia harus membantu anak-anak dan perempuan Papua untuk maju.
Sayang, niat mulianya itu kurang mendapat dukungan dari keluarga. Masalah jarak menjadi penghalang. Orang tuanya tidak membiarkan ia merantau jauh.
Tentu Risna tidak kehilangan akal. Ia tetap mencari cara agar bisa kembali ke Papua namun dengan jalur yang aman. Karena jika memutuskan berangkat sendiri orang tuanya pasti tidak mengizinkan.
Tahun 2014, akhirnya ia bisa terbang kembali ke tanah Papua melalui program Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Yaitu program Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP3) yang sekarang dikenal dengan nama program Pemuda Mandiri Membangun Desa (PMMD).
Program ini sendiri memiliki banyak fungsi dan sektor dan Risna memilih untuk fokus pada pendidikan sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya sejak awal.
Mendirikan Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak
Inisiasi mendirikan Rumah Cerdas Perempuan Komunitas Arfak dilatarbelakangi oleh rasa prihatin yang muncul setelah menyaksikan sendiri, bagaimana mama-mama (sebutan untuk ibu di Papua) di Kobrey oleh pemerintah setempat diminta untuk membuat kebun percontohan.
Mereka disuruh bekerja membuat lahan namun cuma dimodali bibit dan modul sebagai petunjuknya. Masalahnya, bagaimana mama-mama Papua ini bisa memahami modul tersebut jika membaca saja tidak tahu.
“Padahal, masyarakat Papua itu pintar bertani. Pertanian di sana lumayan berkembang, bisa untuk menghidupi. Hanya saja, pemerintah tidak betul-betul melihat persoalan dasar yang terjadi. Bahwa bukan masalah bertani, tapi bagaimana mendidik masyarakat Papua agar bisa bertani dengan lebih produktif”. Cerita Risna ketika diwawancarai.
Risna juga semakin termotivasi untuk membangun rumah belajar setelah Ibu Kepala Kampung atau mama Yosina yang sendiri minta diajari untuk membaca.
Ternyata bukan hanya Mama Yosina, mama-mama lain yang buta huruf juga antusias ingin belajar. Antusias mereka menumbuhkan semangat Risna kian menggebu dan memotivasinya untuk mendirikan Rumah Cerdas Perempuan Komunitas Arfak.
Di rumah belajar tersebut Risna mengajar para mama dan juga anak-anak membaca, menulis, dan berhitung.
Tidak hanya itu, Risna juga memberikan pembinaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan memberikan pelatihan tentang usaha kecil.
Ia mendorong para mama untuk melanjutkan kegiatan memproduksi kerajinan tangan khas Papua yaitu Tas noken yang hampir punah di Kampung Kobrey. Kemudian dengan membangun Rumah Noken, Risna mulai menjalani usaha memasarkan produk berupa tas noken dan aksesoris lain buatan mama-mama Suku Arfak lewat media sosial.
Sebelumnya, mama-mama Suku Arfak membuat tas noken hanya untuk keperluan sendiri dan tidak dijual secara khusus. Dijual pun harganya tidak menarik dimana satu tas noken hanya dihargai Rp50 ribu.
Setelah Risna memberikan edukasi, harga tas noken yang tadinya tidak seberapa itu akhirnya bisa terjual dengan harga empat kali lebih tinggi yaitu sebesar Rp200 ribu.
Pola pembinaan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang dilakukan Risna secara tidak langsung juga turut membantu meningkatkan perekonomian di Kampung Kobrey.
Perjuangan Risna untuk memajukan para perempuan Arfak tidak cukup di situ. Kini, ia juga sudah berhasil mengajak pemerintah setempat untuk menambah fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di beberapa lokasi di Manokwari dan secara bersamaan juga membuka lowongan bagi para relawan yang bersedia untuk mengajar.
Risna juga membuka perpustakaan untuk sekolah dan perpustakaan keliling tanpa dipungut biaya agar dapat meningkatkan minat baca masyarakat di sana.
Tidak hanya di bidang pendidikan, Risna juga membuka program kesehatan untuk mencegah stunting yang merupakan salah satu masalah serius di Papua. Ia membuka posyandu dan membagikan asupan gizi tambahan berupa susu dan kacang hijau untuk anak-anak di Kampung Kobrey.
Beratnya Perjuangan Risna Hasanudin Mencerdaskan Perempuan Arfak
Perjalanan sunyi yang ditempuh Risna dalam mencerdaskan para perempuan di suku Arfak tentu tidak terlepas dari berbagai halangan dan rintangan.
Sejak awal kedatangannya di Kampung Kobrey, ia telah mengalami kesulitan. Walau datang ke Papua Barat dengan mengikuti program pemerintah, namun nyatanya gaji Rp4 juta yang dijanjikan tak kunjung cair selama 4 bulan.
Namun lagi-lagi itu bukan penghalang. Tekadnya sudah bulat. Ia memilih meneruskan perjuangan walau harus menggunakan biaya sendiri.
Persoalan jarak dari rumah menuju tempatnya mengajar juga jadi tantangan tersendiri karena sulit dijangkau sedangkan saat itu belum banyak transportasi umum.
Hambatan lain datang dari lingkungan sekitar. Ia adalah seorang muslim dan berhijab, berbeda dengan masyarakat setempat yang mayoritas non muslim. Karena itu tindakan-tindakannya kerap disalahpahami warga.
“Mereka selalu sulit menerima saya, apabila saya terlambat merespons kebutuhan pelayanan (untuk mengajar), mereka selalu mengaitkan bahwa itu adalah karena agama saya berbeda dengan mereka” begitu ungkap Risna.
Selain respon masyarakat yang kurang baik di awal. Risna juga merasakan kurangnya respon dari pemerintah daerah yang kala itu masih menyepelekan masalah pendidikan.
Tidak hanya itu, perjuangan terberat yang dirasakan Risna adalah saat mendapat pelecehan seksual dan kekerasan fisik oleh orang yang tidak suka akan kehadirannya.
Bahkan dirinya pernah nyaris diperkosa oleh pemuda setempat, untungnya ia berhasil melakukan perlawanan yang meninggalkan luka lebam di pelipis dan pendarahan dihidung yang menyebabkan ia harus berobat selama 6 bulan.
Karena kejadian tragis tersebut Risna sempat putus asa dan berniat untuk kembali ke tanah kelahirannya.
“Saya tadinya ingin pulang, tetapi mereka menangis di dekat sumur. Mereka bilang, kita mau jadi apa kalau kak Risna pulang?”
Mendengar keluhan murid-muridnya itu, perempuan alumni Jurusan Pendidikam Ekonomi Universitas Patimura Ambon ini luruh dan mengurungkan niat. Pengabdiannya belum selesai. Ia memang sempat pulang ke Banda Naira, namun hanya dua pekan untuk berobat lalu kembali lagi ke Kampung Kobrey.
Bersyukur kali itu, saat kembali ke Papua keluarganya sudah mendukung, begitupun dengan pemerintah yang mulai tergerak memberikan dukungan positif pada perjuangan Risna dalam memajukan anak-anak dan para perempuan di Kobrey melalui pendidikan.
Buah dari Perjuangan Risna Hasanuddin
Jalan sunyi yang ditempuh Risna memang penuh kerikil tajam dan berliku. Sebuah perjalanan yang tidak mudah. Namun demi mencerdaskan anak-anak dan para perempuan dari Suku Arfak, demi membebaskan mereka dari buta aksara, Risna pantang menyerah.
Ia memulai langkahnya dengan membangun Rumah Cerdas Perempuan Arfak dan kini ia telah memetik buah dari jerih payahnya selama beberapa tahun terakhir.
Berkat pembinaan yang ia lakukan banyak perempuan Arfak yang telah mengalami perubahan. Setidaknya kini mereka tidak lagi buta huruf dan bisa mengejar ketertinggalan.
Perjuangan Risna dalam mengentaskan buta huruf di Kampung Kobrey pun diapresiasi oleh Astra. Risna merupakan salah satu penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2015 pada kategori pendidikan.
Salut dengan perjuangan sunyi yang ditempuh oleh perempuan dari Banda Naira ini. Semoga bisa menginspirasi kita semua.
Referensi :
https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/finalis/sang-merak-dari-timur/
Artikel di Archipelagos.id berjudul Risna Hasanudin, Pembawa Perubahan Pendidikan di Manokwari
Youtube Kick & Andy
Gambar : instagram @hasanudinrisna
Pasti, pasti berat banget kalau ingin mengubah suatu keadaan.
Apalagi belajar juga membutuhkan waktu dan usaha yang datang dari masing-masing. Salut dan kagum sekali dengan perjalanan kak Risna Hasanuddin dalam menerangi perempuan Arfak dari Buta Aksara.
Semoga terus semangat dan menularkan muda-mudi lainnya untuk ikut membantu perjalanan ini.
Masyaallah, luar biasa perjuangan Risna. Jarang sekali kita temukan perempuan seperti Risna bahkan laki-laki pun jarang yg mau mengabdi ke pedesaan yg tertinggal seperti di Arfak ini. Semoga perjuangan Risna berjalan terus dan sukses.
Ya Allah, keren banget perjuangan Kak Risna yang tanpa pamrih mengajar dan membimbing masyarakat Papua ya padahal perjalanannya tidak mudah. Semoga makin banyak anak muda terinspirasi yaa…
Ya Allah, keren banget perjuangan Kak Risna yang tanpa pamrih mengajar dan membimbing masyarakat Papua ya padahal perjalanannya tidak mudah. Semoga makin banyak anak muda terinspirasi yaa
Hebat sekali Mbak Risna ini. Perempuan yang tak pernah patah semangat dan selaluberjuang demi pendidikan. Pantas mendapatkan apresiasi Satu Indonesia Awards
Saluuuuut ❤️❤️❤️❤️. Dengan begitu banyak halangan ya, tapi mba Risna ini ttp bertahan demi mengajarkan wanita2 Papua agar bisa membaca. Sedih sih pas tahu pengalaman dilecehkan nyaaa..pasti lumayan traumatik 😔.
Semoga aja dengan begini pemerintah juga makin terbuka matanya utk lebih bisa meratakan pendidikan sampai timur indonesia, dan ga melupakan pembayaran gaji guru2 di sana. Udh banyak bgt cerita kalo gaji para honorer atau guru suka telat datangnya 😔
Ya ampun kak Risna.. Meski bnyk halangan dn cobaan tp pantang menyerah ya.. Berjuang di tempat asing yg masih “terbelakang”, ini definisi pahlawan juga sih. Salut
Ya ampun kak Risna.. Meski bnyk halangan dn cobaan tp pantang menyerah ya.. Berjuang di tempat asing yg masih “terbelakang”, ini definisi pahlawan juga sih. Salut
Hebaat sekali ya beliau jadi relawan di daerah yg jauuh kayak Papua. Sedihnya kalau di sana kelas 3 SD masih belum bisa membaca 😰
Semoga amal jariyahnya terus mengalir. Dan makin banyak relawan di Papua.
Kak Risna, big hug. Sangat keren banget perjuangan untuk menghapus buta aksara di Papua, luar biasa perjuangan mu kak. Semoga berbalas banyak pahala, aamiin.
Tentunya sangat menginspirasi bagi banyak orang dan sangat bermanfaat juga bagi warga yang sudah kakak ajarkan, sehat selalu kak Risna 😇
Kak Risna, big hug..keren banget kak perjuangan kakak menghapus buta huruf di Papua, semoga berbalas banyak pahala ya kak. Mulia banget usaha, upaya dan perjuangan enggak main-main, sangat inspiratif, aku salut dan hormat sama perjuangan mu kak. Good luck kian bersinar dan bermanfaat bagi banyak orang 😇
masyaaallah tabarakallah, proud of you mba Risna, I feel you, saat mengajar di pedalaman Kalimantan saya masih menemukan anak anak kelas 4 SD belum bisa menulis dan membaca, karena kekurangan guru, mungkin ini salah satu faktor masih banyak saat usia ewasa mereka belum bisa membaca dan menulis. Semoga makin banyak lagi orang-orang yang terinspirasi dna menjadi volunteering untuk memerangi buta aksara ini khususnya para perempuan yang kelak akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya
jadi inget Butet manurung.
spiritnya nulaarrrr banget yah.
sosok generasi muda yg sangat inspiratif