Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan, Benarkah?

Kusta dan disabilitas identik dengan kemiskinan, benarkah? Kira-kira apa yang terbersit di benak Sobat Kenangan ketika mendengar penyakit kusta? Apa Sobat juga masih beranggapan seperti pandangan masyarakat pada umumnya bahwa kusta adalah penyakit kutukan yang …

kusta dan disabilitas

Kusta dan disabilitas identik dengan kemiskinan, benarkah? Kira-kira apa yang terbersit di benak Sobat Kenangan ketika mendengar penyakit kusta? Apa Sobat juga masih beranggapan seperti pandangan masyarakat pada umumnya bahwa kusta adalah penyakit kutukan yang tidak dapat disembuhkan dan mudah menular sehingga penderitanya harus diasingkan?

Selama ini kusta memang lekat dengan stigma negatif. Penderitanya kerap dikucilkan bahkan termasuk Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK), meski sudah sembuh tetapi masih mengalami diskriminasi. Begitupula dengan penyandang disabilitas.

Perlakuan yang mereka dapatkan bukan hanya diasingkan melainkan juga kesulitan memperoleh pekerjaan. Inilah yang menghambat mereka untuk berkembang, sekali pun mereka memiliki skill.

Maka tidak heran bila sampai hari ini masih banyak penyandang disabilitas maupun OPYMK yang pengangguran. Mereka tidak bisa mengembangkan potensi dirinya karena stigma negatif dan perlakuan diskriminasi dari masyarakat.

Fakta Tentang Kusta

Kusta adalah penyakit yang sudah sangat lawas. Penyakit ini bahkan sudah ada sejak 1400 SM. Selama kurun waktu itu pula banyak mitos atau stigma negatif tentang kusta yang beredar di masyarakat.

Salah satunya, kusta terkenal sebagai penyakit kutukan. Padahal faktanya, kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri bernama Mycobacterium Leprae. 

Bakteri tersebut menginfeksi tubuh manusia dengan cara masuk melalui permukaan kulit atau lender saluran pernafasan yang dapat menyerang kulit dan saraf tepi.

Nah, bakteri Mycobacterium leprae ini memang dapat menular namun perlu Sobat ketahui, bakteri tersebut tidak dapat menular dengan mudah.

Dari referensi yang saya baca, bakteri penyebab kusta memiliki masa inkubasi yang panjang yaitu sekitar 2 hingga 5 tahun.

Sebagai gambaran, jika dalam kurun waktu tersebut ada satu orang yang teridentifikasi menderita penyakit kusta lalu di sekitarnya ada 100 orang lain, maka 95 orang bisa dipastikan tidak terjangkit dan kemungkinan hanya 5 orang yang tertular.

Oleh karenanya, berinteraksi dengan mereka seperti bersalaman, ngobrol dan duduk bersama bahkan tinggal seatap tidak akan membuat kita mudah tertular. Penularan hanya akan terjadi bila kita tekena droplet penderita kusta secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama.

Jadi orang yang menderita kusta tidak seharusnya dijauhi apalagi sampai dikucilkan karena penyakitnya sangat tidak mudah menular.

Fakta menarik berikutnya yang juga harus Sobat ketahui, orang yang menderita kusta dapat sembuh total asal ditangani dengan cepat dan tepat.

Sayangnya karena adanya stigma negatif yang beredar di masyarakat, banyak penderita kusta yang malu pergi berobat sehingga terlambat mendapat penanganan.

Padahal jika segera mendapat pengobatan, orang yang mengalami kusta bisa terhindar dari kecacatan yang berujung pada disabilitas.

Talkshow Ruang Publik “Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan, Benarkah?”

ruang publik kbr bahas kusta dan disabilitas

Pada Rabu, 28 September 2022 kemarin saya menyempatkan diri mengikuti live streaming dengan pembahasan seputar kusta yang diadakan oleh KBR dan NLR.

Talkshow Ruang Publik dengan tajuk “Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan, Benarkah?” itu menghadirkan dua narasumber yaitu Sunarman Sukamto, Amd Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) dan Dwi Rahayuningsih, Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian PPN/Bappenas.

Talkshow yang dipandu oleh Debora Tanya, Host dari KBR selama sejam tersebut berlangsung dengan pembahasan yang menarik sekaligus menambah insight saya tentang kusta.

Dalam 10 tahun terakhir ini kasus baru kusta di Indonesia cenderung stagnan yaitu sekitar 16.000-18.000 orang. Jumlah yang tidak sedikit, bukan?

Bahkan Indonesia menduduki peringkat sebagai negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia. Pada 2021 lalu tercatat masih ada 6 Provinsi dan 101 Kabupaten atau Kota yang belum mencapai eliminasi kusta.

Sedangkan dari data Kementerian Kesehatan RI per 24 Januari 2022 terdapat 13.487 kasus kusta yang terdaftar dan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus.

Dijelaskan bahwa penularan kusta masih terus terjadi dan disabilitas kusta tinggi karena adanya indikasi keterlambatan penemuan dan penanganan kusta serta ketidaktahuan terhadap tanda-tanda kusta.

Ditambah lagi dengan stigma negatif yang melekat pada penyakit tersebut membuat kesadaran untuk segera memeriksakan diri orang dengan gejala kusta menjadi rendah.

Pada OYPMK dan penyandang disabilitas permasalahan ini semakin kompleks karena berkaitan pula dengan kondisi psikologis, sosial hingga ekonominya.

Walau sudah sembuh dari kusta, mereka masih dihantui perasaan malu dan minder. Stigma buruk yang mereka dapatkan selama menderita kusta pun tidak serta merta hilang.

Alhasil mereka kesulitan untuk mendapatkan akses layanan umum dan kesempatan bekerja. Inilah yang menjadi salah satu penyebab OYPMK dan penyandang disabilitas sering diidentikkan dengan kemiskinan.

Sunarman Sukamto, Amd. atau akrab disapa Pak Maman menyampaikan bahwa ketika diidentikkan dengan kemiskinan maka isu kusta bukan sekadar isu kesehatan, melainkan multidimensi. Yaitu berkaitan juga dengan isu sosial, ekonomi dan lingkungan.
Oleh sebab itu menurut beliau penanganan kusta perlu pendekatan multidimensi yakni harus ada kerjasama atau kolaborasi dengan lintas sektor baik itu kementerian lembaga maupun pemerintah daerah.

Termasuk dalam hal ini OYPMK dan penyandang disabilitas juga harus terlibat sebab merekalah yang akan menjadi agen perubahan untuk memutuskan kemiskinan yang terlanjur diidentikkan dengan kusta.

Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa pemerintah saat ini tengah menyusun peta jalan (roadmap) untuk bisa mewujudkan eradikasi atau pemusnahan total terhadap kusta, jadi bukan lagi sekadar eliminasi.

Sedangkan Ibu Dwi ketika ditanya terkait topik yang menjadi pembahasan talkshow saat itu menjelaskan bahwa penyebab kusta dan disabilitas diidentikkan dengan kemiskinan tidak terlepas dari stigma negatif yang beredar di masyarakat.

Banyaknya stigma yang membatasi OYPMK dan penyandang disabilitas berkontribusi dan berpatisipasi dalam kegiatan sosial maupun kegiatan produktif.

Hal tersebut juga mempengaruhi akses mereka terhadap pendidikan, ketenagakerjaan dan kewirausahan. Termasuk ketika OYPMK ingin berwirausaha akan kesulitan memperoleh akses peminjaman modal dari lembaga keuangan karena masih ada diskriminasi. Begitupula dengan stigma-stigma tertentu lainnya yang menyebabkan aksebilitas mereka sangat terbatas.

Itulah yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pada penderita kusta dan disabilitas. Namun menurut beliau tidak serta merta kita mengidentikkan mereka dengan kemiskinan namun lebih kepada reasoning dibalik kemiskinan itu yang masih belum sepenuhnya “berpihak kepada mereka”.

Upaya Pemerintah dalam Menangani Kasus Kusta dan Disabilitas

Menyikapi fakta miris di atas, bahwa kasus kusta dan disabilitas masih terbilang tinggi di Indonesia tentunya pemerintah tidak tinggal diam.

Sejauh ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menangani permasalahan tersebut. Dari menyimak talkshow ini berikut beberapa penanganan yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan terhadap OYPMK dan disabilitas ;

  • Bantuan sembako yang penyalurannya ditujukan kepada penyandang disabilitas dengan kategori miskin dan berdasarkan data yang didapatkan dari DTKS
  • Bantuan asistensi rehabilitasi sosial dan penyaluran alat bantu
  • Kemandirian usaha untuk disabilitas yang mendapat diskriminasi lingkungan
  • Menyelenggarakan shelter ex kusta yang sudah ada di beberapa daerah di Indonesia. Diantaranya Dusun Sumberglagah, Desa Tanjung Kenongo, Kec. Pacet, Kab. Mojokerto, Jawa Timur, Desa Banyumanis, Kec. Donorojo, Kab. Jepara, Jawa Tengah, dan Kompleks kusta Jongaya di Jalan Dangko, Kel. Balang Biru, Kec. Tamalate, Kota Makassar
  • Peningkatan cakupan kesejahteraan sosial dengan memperluas bantuan sosial, kesehatan dan adanya kuota minimum perusahaan untuk mempekerjakan disabilitas. Untuk perusahaan swasta kuota minimumnya 1 % sedangkan pemerintahan kuota minimumnya sebesar 2 %.

Penutup

Sampai saat ini masalah kusta di Indonesia masih belum terselesaikan. Salah satu penyebab utamanya adalah stigma negatif. Belum lagi dengan perlakuan diskriminasi yang kerap mereka terima.

Kurangnya edukasi mengenai kusta menjadi alasan mengapa penderita kusta maupun penyandang disabilitas kerap dijauhi, dikucilkan bahkan identik dengan kemiskinan

Sobat, kusta bukan penyakit kutukan juga tidak dapat menular dengan mudah. Penyandangnya berhak hidup layak dan normal seperti kita. Mereka juga berhak untuk mendapatkan akses berbagai layanan umum termasuk pendidikan dan pekerjaan.

Karena itu stop stigma negatif dan diskriminasi. Yuk, tunjukkan kepedulian kita terhadap mereka. Semoga informasi yang saya bagikan bermanfaat. Salam.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.